top of page

WEBINAR SEKSI ZENDING : PEKABARAN INJIL PADA ERA POSTMODERNISME

Pengantar

Era Postmodernisme. Apakah itu? Apakah Pekabaran Injil yang saat ini gereja kita kerjakan adalah sesuatu yang relevan dilakukan pada era ini? Inilah yang Sie Zending pikirkan dan gumulkan. Sebagai wujud atas concern ini Sie Zending HKBP Duren Sawit menggagas sebuah seminar perihal ini yang diselenggarakan pada hari Sabtu tanggal 26 Juni 2021 pada pukul 09.00 WIB secara virtual dengan menggunakan Zoom meeting. Seminar ini menghadirkan narasumber Pdt. DR. Sukanto Limbong, Dosen pada STT HKBP. Acara dibuka dengan Kata Pembuka oleh Ketua Dewan Marturia HKBP Duren Sawit St. Drs. Robin T. Siahaan dengan diikuti sekitar 28 peserta, termasuk Pendeta Ressort HKBP Duren Sawit Pdt. Japati Napitupulu, STh., MPd. dan Ibu, Ketua Sie Zending Ev. Maulina Silaen, sejumlah Sintua dan jemaat dari beberapa Lingkungan gereja kita, dengan dilayani oleh Ny. Deby A. Hutagalung br. Marpaung sebagai meeting host.


Gambar 1

Narasumber Pdt. DR. Sukanto Limbong sedang menyampaikan

materi seminar pada Zoom meeting



Pendahuluan

Pada artikel ini penulis bermaksud menyampaikan pemikirannya dengan memadukan apa yang direnungkan dari materi seminar dan sejumlah literatur lainnya. Apa itu Postmodernisme? Informasi pada Wikipedia menyatakan sebagai berikut:


Postmodernism is generally defined by an attitude of skepticism, irony, or rejection toward what it describes as the grand narratives and ideologies associated with modernism, often criticizing Enlightenment rationality and focusing on the role of ideology in maintaining political or economic power.


Postmodernisme umumnya didefinisikan sebagai suatu sikap skeptis, ironis atau menolak terhadap apa yang dipandang sebagai narasi-narasi dan ideologi-ideologi besar yang diagungkan modernisme, seperti rasionalitas Pencerahan serta pemusatan ideologi demi memelihara kekuatan politik atau ekonomi.


Pemikir dan penggagas postmodern menjelaskan bahwa yang disebut dengan klaim pengetahun dan sistem-sistem nilai itu sesungguhnya merupakan konstruksi atau bentukan yang dikondisikan secara sosial sebagai produk dari sistem politik serta sejarah Barat dengan menggunakan hierarki-hierarki kekuasaan yang sesungguhnya mentolerir penindasan terhadap mereka yang lemah. Klaim pengetahuan dan rasionalitas yang manusia agung-agungkan ini merupakan warisan abad ke-18 dengan semangat Pencerahan (Enlightenment). Klaim pengetahuan ini memang membawa manusia pada kemajuan, namun adalah ironis karena ia menghasilkan pula mesin-mesin perang modern yang memiliki kemampuan mematikan. Medan Perang Dunia I (tahun 1914-1918) dan II (tahun 1939-1945) di Eropa yang menewaskan jutaan manusia dengan mesin-mesin perang modern itu pada akhirnya membawa pula peradaban Barat modern pada keruntuhan. Paska Perang Dunia I dan II cara manusia berpikir berubah, narasi maupun desain yang besar namun mengabaikan individu-individu ini pada akhirnya menghadapi situasi dekonstruksi (deconstruction): suatu pemaknaan ulang segala sesuatunya untuk memberi tempat bagi ruang-ruang yang sebelumnya tersisihkan dengan demikian mencari jalan pembebasan.



Postmodernisme dan Pekabaran Injil

Sebagai anak-anak Allah, kita selalu memiliki pengharapan. Dalam setiap tantangan yang dihadirkan oleh Postmodernisme selalu ada jalan bagi pekerjaan-pekerjaan Allah untuk dikerjakan oleh anak-anak-Nya. Postmodernisme sebagai jalan pembebasan atas kekakuan rezim ideologi besar modernisme pada satu sisi sekan-akan telah meruntuhkan pondasi akal sehingga kebenaran seolah-olah hilang. Bila kebenaran tidak ada, maka selanjutnya untuk apa lagi kita menjadi orang Kristen? Namun, tidak demikian. Postmodernisme yang telah merubuhkan akal atau logika (reason, logic) yang diyakini sebagai pondasi pada rasionalisme Barat tetap tidak dapat merubuhkan Alkitab sebagai pondasi pada iman Kristen. Sesungguhnya kebenaran itu sendiri tidak mungkin memudar. Kebenaran adalah sifat dari Allah sendiri. Pemahaman manusia akan kebenaran di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa inilah yang telah melonggar dan tergelincir. *“…, sebab kebenaran tersandung di tempat umum.” (Yesaya 59:14)*, yang artinya kebenaran tidak lagi ditegakkan pada ruang publik. Kita memerlukan kepekaan yang terus menerus diasah oleh Firman Tuhan dalam Pekabaran Injil.

1. Intertekstualitas


Intertekstualitas merupakan kondisi dimana segala sesuatunya termasuk kehidupan kita dipahami sebagai teks yang terhubung dengan berbagai ru`pa teks-teks lainnya, bagaikan suatu jejaring (web). Termasuk dalam memahami teks Alkitab, bilamana pada era modern makna dipahami sebagai sesuatu yang terpusat pada suatu otoritas tertentu yang transenden, maka pada masa Postmodernisme ini bukan hanya konteks namun teks-teks Alkitab lainnya menjadi penting di dalam memahami makna satu teks Alkitab tertentu. Di sinilah Alkitab siap dengan perubahan ini. Scripture interprets Scripture. Alkitab menafsirkan Alkitab. Perjanjian Lama harus dilihat sebagai bayangan dari apa yang akan datang pada Perjanjian Baru. Perjanjian Baru harus dilihat sebagai apa yang dahulu telah tersembunyi jauh sejak masa Perjanjian Lama.



2. Gereja bukan lagi satu-satunya sumber informasi hal rohani


Industri 4.0 dengan Internet of Things (IoT) telah memungkinkan manusia dapat mengendalikan segala sesuatu hanya dengan perangkat genggaman (mobile device). Dengan menekan satu ikon saja ia telah mengakses informasi dalam jumlah yang seakan-akan tidak terhingga. Artinya, seseorang dapat mengakses semua informasi itu, termasuk berbagai rupa penjelasan dan penafsiran Alkitab. Berupa-rupa ibadah telah tersaji dan siap dikonsumsi bagaikan fast food. Seakan-akan kita dapat memilihnya bagaikan kita memilih makanan kesukaan kita. Namun demikian, orang Kristen sejati dipanggil untuk menyaring segala sesuatunya berdasarkan kepekaannya akan Firman Allah.


Dengan Firman Allah maka spirit era Postmodernisme tidak akan membawa kita pada Post Truth (Paska Kebenaran). Post Truth berarti kebohongan adalah pula kebenaran. Alkitab mengatakan bahwa kita adalah “anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan” (I Tesalonika 5:5). Oleh karena itu terang tidak mungkin bersatu dengan kegelapan. Pekabaran Injil yang sejati pasti menghadirkan Kristus dan salib-Nya bukan hanya dengan perkataan namun dengan memberikan pula diri berkorban bagi tubuh jemaat.



3. Cyber Evangelism


Revolusi Industri 4.0 telah memungkinkan manusia berinteraksi secara global dengan mengatasi zona waktu dan jarak geografis. Jemaat HKBP Duren Sawit khususnya dapat memakai kesempatan ini untuk menyampaikan Injil Yesus Kristus di tanah kelahirannya saja yang sebelumnya dijangkau dengan pesawat terbang dan mobil, namun dapat pula di tempat-tempat lain bahkan belahan dunia lainnya dengan menggunakan digital meeting room. Penginjilan telah dapat dilakukan secara cyber. Sepanjang perangkat kita telah terhubung dengan internet, maka jarak geografi tidak lagi menjadi kendala. Pelayanan kasih kepada jemaat serta mereka yang lemah mempunyai peluang baru dan menimbulkan harapan-harapan baru, seperti dikatakan nabi Yesaya: ”Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya, ...” (Yesaya 42:3).


Gambar 2

Foto bersama Pdt. DR. Sukanto Limbong pada akhir acara seminar



Penutup

Postmodernisme pada satu sisi perlu diwaspadai, agar Pekabaran Injil pada era ”kesaling-terhubungan” (interconnectivity) ini tidak tergiring pada semangat celebritism dan popular culture yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Di dalam pengenalan kita akan Yesus Kristus maka Postmodernisme harus dipandang sebagai peluang untuk menghadirkan dan menjangkau umat Allah yang memerlukan pertolongan dan kasih-Nya melalui berbagai perangkat yang ada. Oleh karena itulah Pekabaran Injil sesungguhnya relevan pada era Postmodernisme ini.


Pendeta Ressort HKBP Duren Sawit Pdt. Japati Napitupulu, STh., MPd. melalui Pesan Penutup kepada seluruh peserta Webinar ”Pekabaran Injil pada era Postmodernisme” ini secara khusus menyampaikan kepada Sie Zending HKBP Duren Sawit agar pada masa mendatang terus memelihara semangatnya melayani ruang-ruang yang terbuka pada era Postmodernisme ini dengan slogan 3B: Bersukacita, Bergerak dan Berbuat.

Tuhan memberkati.




St. Jessy Victor Hutagalung, SE

HKBP Duren Sawit, Lingkungan Kav.AL

Anggota Sie IT & Multi Media



Σχόλια


bottom of page