top of page

MENGENAL TEOLOGI KUBANGAN KERBAU

I. Pendahuluan

Berbicara tentang Teologi Kubangan Kerbau, tentu erat kaitannya dengan seorang teolog Kosuke Koyama yang telah menjadi penggagas di dalamnya. Kosuke Koyama pernah melayani di Muangthai sebagai pengajar di Thailand Theollogical Seminary. Ia pun pernah menjadi sekretaris pelaksana Association of Theological Schools in Southeast Asia dan Dekan Southeast Asia Graduated Scholls of Theology. Kemudian menjadi Dosen Union Theological Seminary in New York. Ia merupakan seorang teolog Kristen kenamaan dan memiliki pengaruh yang sangat luas dalam hal misi Kristen, wafat pada hari Rabu di Springfield, Massachusetts dalam usia 79 tahun. Koyama wafat akibat menderita pneumonia. Ia giat memperkenalkan metode-metode misi dan pengenalan Kristus dalam konteks budaya Asia.[1] Bukunya yang sangat terkenal berjudul Water Buffalo Theology diterbitkan pada tahun 1974 dianggap sebagai buku pertama yang melakukan penerapan teologi dalam konteks Asia. Demikian dikemukakan oleh Donald Shriver, Presiden Emeritus Union Theological Seminary. Koyama membuat bukunya menggunakan bahasa puitis, bukan akademik. Oleh karena itu ia dijuluki sebagai misionaris di Thailand wilayah utara, sebab Ia menuliskan bukunya tersebut terinspirasi dari bunyi katak di saat para petani bekerja bersama-sama dengan kerbau mereka di sawah.[2] Disinilah letak telogi kontekstual yang digagasi oleh Koyama.

Senada dengan itu, Stephen Bevans dalam bukunya Model-Model Teologi Kontekstual, menyatakan bahwa: “Teologi dewasa ini dapat kita simpulkan, mesti berupa sebuah teologi yang kontekstual. Beberapa pergerakan dan aliran penting yang terdapat pada zaman kita sekarang ini menunjukkan dengan jelas segi-segi dalam agama Kristen sendiri yang menjadikan sebagai imperatif sebuah teologi yang sungguh-sungguh menggubris pengalaman manusia, lokasi sosial, kebudayaan-kebudayaan partikular dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut”.[3] Di sini, konteks riil dapat kita amati di mana masyarakat hidup dan berada mesti dilihat sebagai partner dalam berteologi. Dengannya teologi bisa mendarat atau menyapa hidup suatu masyarakat. Sebuah karya pewartaan yang terlepas atau terpisah dari konteks riil hidup suatu masyarakat akan menjadi tidak berdaya guna karena pewartaan itu tidak menyentuh aspek-aspek yang melingkupi kehidupan suatu masyarakat. Dalam rangka mewujudkan maksud itu, Ia berusaha untuk memahami realitas budaya, agama, sejarah dan alam di Asia Tenggara umumnya dan di Muangthai Utara khususnya. Gagasan ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul Waterbuffalo Theology. Dalam buku ini ia berusaha untuk mengkontekstualisasikan teologi seturut situasi dan kebutuhan riil umat setempat. Ia bertolak dari pengalaman umat untuk kemudian diberi isi teologis dalam terang Firman Allah.[4]


II. Apa itu Teologi Kerbau?

Teologi kerbau merupakan suatu bentuk teologi kontekstual; teologi yang berakar pada kondisi riil umat Allah. Karena itu unsur yang juga sangat penting dalam berteologi adalah melihat konteks sejarahnya. Bagi Koyama, sejarah Asia adalah sejarah ‘senjata’ yang meninggalkan luka, tapi sekaligus sejarah ‘balsem’ yang menyembuhkan dan menyelamatkan jiwa-jiwa orang Asia secara teologis. Dari mulut yang satu, keluarlah berkat dan kutuk. Sejarah senjata dan balsem dalam kenyataan konteks Asia selalu berjalan bersamaan. Zaman kolonialisme ini adalah momen perubahan total dan saat terjadinya berbagai goncangan di Asia. Kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan menjadi berantakan. Dalam perspektif Koyama, sejarah itu masih berlangsung sampai sekarang. Oleh sebab itu bagi Koyama kenyataan ini turut mempengaruhi watak dan struktur relasi Barat dan Asia. Barat selalu bersikap keras dalam hubungannya dengan Asia, karena ketamakan perdagangan dan mau benar sendiri secara teologis.[5]

Hwa Yung dalam bukunya “Manggoes or Bananas” (The Quest for Authentic Asian Christian Theology) berbicara mengenai Teologi Kontekstual di Asia. Dan ia mengangkat pokok-pokok penjelasan Teologi Kerbau oleh teolog Koyama:[6]

1) Tulisan Koyama lebih menekankan pada kehidupan sehari-hari dan sejarah umat manusia, dari konsep suara katak saat “Thai Moonsoon rains” (musim hujan) kepada teknologi modern yang terlihat lebih efisien dibandingkan dengan sebuah jet Jumbo. Koyama lebih menekankan pada refleksi yang berkelanjutan dibandingkan berkonsentrasi pada analisa logis dan berbagai macam argument.

2) Hermeunitik Koyama sangat berorientasi pada manusia dan bersifat kontekstual. Di dalam bukunya “Waterbuffalo Theology” (1974), Koyama berbicara mengenai bagaimana ia menyadari pekerjaan pelayanannya dalam konteks Thailand dan menyampaikan injil dalam kepedulian terhdap pendengarnya di Thailand. Bagi Koyama, fokus utama dan terbesar ada pada diri manusianya, bukan doktrin yang diterima oleh manusia tersebut. Ringkasnya, tulisan Koyama berpusat pada tindakan untuk mengakarkan teologi dalam konteks budaya,agama dan sejarah.

Sejarah Asia, yang sering sekali diabaikan, harus ditafsirkan kembali oleh orang Asia. Koyama mencoba melakukan hal ini untuk berbagai Negara Asia, tetapi yang penting dalam teologi kerbaunya adalah sejarah Muangthai.

a. Mengakarkan teologi dalam sejarah Muangthai

Para wisatawan mulai berkenalan dengan Muangthai di lapangan terbang besar yang ramai dengan jet-jet mendarat dan taksi-taksi yang hiruk pikuk. Namun dari lapangan terbang itu tidak mungkin pergi ke mana pun juga, bahkan ke Bangkok dengan kuil-kuil kuno dan hotel-hotel modernnya, tanpa melalui sawah yang dikerjakan petani dan kerbau yang masih meneruskan cara hidup dulu. Muangthai sesungguhnya dapat dipahami dan ditembus oleh iman Kristen hanya apabila ia dilihat sebagai gabungan antara hotel dan kuil, mobil dan kerbau. Bagi Koyama, keadaan ini merupakan panggung perjumpaan antara penafsiran sejarah yang khas Muangthai dan teologi sejarah dari Israel. Perjumpaan ini mempersiapkan Muangthai untuk perjumpaan puncak dengan Kristus.

Menurut Koyama tidak hanya satu Muangthai, namun ada dua Muangthai dalam satu masyarakat. “Muangthai Satu” berarti Muangthai dengan nilai-nilai tradisional yang dibentuk oleh berbagai pengaruh nilai-nilai agama Budha Teravada yang berasal dari India dan Sri Lanka. Muangthai ini dicirikan oleh antropologi dan sejarah yang apatis, suatu pandangan hidup yang dingin, yang muncul dari pengamatan jujur terhadap kebusukan dan kehancuran manusia sebagaimana yang menyebabkan Gautama Buddha menarik diri menuju kesunyian hidup. Pandangan empiris yang ketat melihat kelahiran, pertumbuhan usia tua, sakit-penyakit, dan kematian, yang tampaknya berputar sebagai lingkaran yang taka da putusnya. Menurut pandangan hidup ini, hukum-hukum alam lebih dapat dipercayai menurut kategori-kategori sembarangan seperti kategori-kategori historis dan pribadi.

“Muangthai Dua” dihasilkan oleh kolonialisme Barat dengan senjata dan obatnya. Kekuasaan kolonial menyebabkan luka, namun juga membawa modernitas dan kekristenan. Antropologi dan sejarah negeri-negeri Barat melibatkan patheia, atau semangat yang akhirnya dapat ditelusuri kepada kasih dan keprihatinan Allah pribadi yang dengan kasih dan keterlibatanNya membuat sejarah Israel menjadi unik di antara sejarah para bangsa di dunia ini. Muangthai Kedua mempunyai sifat antropologi dan sejarah yang penuh semangat dan tidak apatis, sebagai hasil teologi dan pengertian tentang kesudahan sejarah, yang terdapat dalam bentuk kekristenan, modernisasi, dan sekularisasi. Muangthai Kedua menarik perhatian sejarah dan kepribadian mempunyai makna khusus.

Menurut Koyama, Muangthai Satu dan Muangthai Dua saling berkonfrontasi. Ada berbagai cara melukiskan konfrontasi ini, salah satunya adalah usaha memahaminya sebagai “gesekan teologis yang terjadi pada perjumpaan muangthai dan Israel”. Muangthai satu memperbesar titik-titik ketegangan dan menyediakan kerangka untuk membahas modernisasi. Kebeteluan, modernisasi Muangthai Dua juga membawakan unsur-unsur teologis karena melibatkan peruabhan system-sistem sosial, termasuk yang religious dan psikologis, yang dengannya manusia menata masyarakat. Di tengah-tengah dasar yang goyah dari budaya Thai, para teolog semakin mungkin mengutuk baik pemahaman buddhis mengenai penderitaan manusia maupun menciptakan nasibnya sendiri. Tetapi pathos (semangat) Allah bekerja di Muangthai seperti dulu di Israel, dan tradisionalisme dan modernisasi keduanya ikut menyumbang bagi pekerjaan-Nya. Titik-titik ketegangan bersifat kreatif dalam arti bahwa mereka mempersiapkan orang Muangthai yang bersifat rohani untuk mewujudkan ciptaan baru yang terjadi dalam Yesus Kristus. Semuanya ini dimaksudkan oleh Tuhan sejarah manusia yang mempersiapkan tanah gemuk di Muangthai. Dengan demikian setiap orang tidak hanya hidup dalam sejarah yang universal, tetapi juga dalam suatu kedudukan khusus di dalam sejarah universal itu. Setiap sejarah khusus mempunyai unsur-unsur yang benar, berharga dan adil, yang harus kita syukuri. Unsur-unsur itu harus dipadukan ke dalam apa yang disebut Koyama sebagai teologi “orbit khusus”. [7]


b. Mengakarkan teologi dalam pemikiran budaya Muangthai

Menurut Koyama keadaan sejarah, budaya dan agama harus diikuti orang yang menciptakan teologi. Karyanya mencakup sejumlah gagasan yang imaginatif secara budaya. Gagasan pertama adalah lada Aristoteles dan garam Buddhis. Di dapur kita menggunakan lada dan garam untuk membumbui makanan sesuai dengan selera kita tanpa bertanya banyak tentang hal itu. Sesuatu yang terjadi di gereja. Gereja Barat membumbui makanan teologisnya dengan lada Aristoteles berupa rasionalsme dan hubungan-hubungan sebab-akibat. Gereja Muangthai mengambilnya dan memperbincangkan argument kosmologis mengenai keberadaan Allah yang berasal dari filsafat Aristoteles, namun menaburinya dengan garam Buddhis berupa ajaran “asal-mula yang tergantung”. Kemudian ditambahkan garam berupa gaya hidup yang tidak terikat pada hal-hal luar. Baik lada Aristoteles maupun garam Buddhis membawa kepada kristus yang samar-samar dan Injil yang redup. Namun pemecahannya bukanlah menolak lada dan garam. Hal-hal itu harus dimanfaatkan untuk membuat Kristus terasa lezat. Di Muangthai kita tidak berbicara semata-mata tentang keselamatan melalui darah Kristus atau keselamatan melalui berita Buddhis tentang dharma: malah, kita berkata bahwa isi dharma itu adalah kematian Kristus sebagai kurban.

Gagasan yang kedua adalah “sesama-logi”. Orang Muangthai tidak tertarik akan Kristologi, tetapi mereka prihatin tentang sesama-logi. Jadi, berita Kristus harus diungkapkan dalam bahasa sesama-logis – praktisnya, dalam mengenal sesama orang Muangthai secara langsung dan jujur. Memang bagi orang asing ini merupakan disiplin. Gagasan yang ketiga, dia membahas masalah-masalah Asia dan teologi Kristen. Bila para teolog di Asia ingin mengakarkan teologi Kristen dalam budaya-budaya mereka masing-masing, maka mereka harus menghadapi sepuluh masalah:

  • Dunia saling tergantung (“kampung sedunia”)

  • Alkitab

  • Pemberitaan, akomodasi dan sinkretisme

  • Orang-orang yang berkepercayaan dan berideologi lain

  • Dunia Barat

  • Cina

  • Masalah kaya dan miskin

  • Dunia agama suku (animis)

  • Spiritualitas

  • Kejelasan ajaran Kristen.[8]


c. Mengakarkan teologi dalam kehidupan Buddhis di Muangthai

Teologi kerbau memusatkan perhatian pada orang-orang Buddhis dan bukan agama Buddhis, pada orang yang diciptakan menurut gambar Allah dan bukan pada pranata-pranata buatan manusia. Ia memandang melalui “mata yang berinkarnasi” dan bukan melalui “mata yang pintar berteologi”. Dan karena itu teologi tersebut “melihat” dengan cara yang berbeda. Misalnya, teologi ini melihat orang Muangthai yang dingin dan Allah yang panas. Konsep-konsep Buddhis seperti dukkha (ketidakpuasan, penderitaan), anicca (kesementaraan) dan anatta (kehancuran diri) menghasilkan seorang manusia dingin yang makan untuk memuaskan bukan seleranya melainkan rasa laparnya; yang tidak mempunyai rumah dalam pengertian pengosongan diri; yang tidak mempunyai sejarah, dalam pengertian bahwa ia tidak rakus menginginkan tempat di dalamnya. Tetapi Allah ebrsifat panas. Ia terlibat dalam sejarah manusia. Ia prihatin untuk memulihkan sang “aku”. Ia tidak menolak manusia dingin, namun ingin menghangatkannya. Karena itu kepribadian Allah harus dijadikan bermakna bagi orang Muangthai. Contoh lainnya, teologi kerbau melihat bahwa surat yakobus ternyata cocok untuk bangsa Muangthai. Yakobus bersifat dingin dalam sisi, tetapi hangat dalam praktek. Benda bersifat sementara dan berubah, tetapi hangat dalam praktek. Benda bersifat sementara dan berubah, tetapi iman terhadap Allah yang tidak berubah diungkapkan, bukan dalam ketidakmelekatan, melainkan dengan melibatkan diri dalam dunia orang-orang marginal.[9]


d. Mengakarkan teologi dalam gaya hidup orang Kristen

Pusat teologi adalah Kristus yang tersalib dan misi orang-orang percaya di dunia. Karena salib itulah Yesus Kristus menarik semua orang kepada-Nya. Karena salib itulah Yesus Kristus menarik semua orang kepada-Nya. Melalui partisipasi yang mahal dalam sejarah penyelamatan, orang Kristen melayani Allah dan dunia. Ambisi pribadi dan tujuan kelembagaan sering menghalangi hal ini. Baik pujian maupun kritik manusia menghalangi pengagungan Allah. Identifikasi dengan Kristus terungkap bila orang Kristen terlibat dalam dunia yang menderita. Orang Kristen melekat pada meja Tuhan dan bebas dari “berita-berita keselamatan” dari meja-meja lainnya seperti sekularisme, teknokrasi, komunisme dan agama-agama besar yang lain di dunia.[10]

Secara singkat, tujuan dari Teologi Kerbau menurut Koyama adalah:[11]

1) Untuk menyampaikan Yesus Kristus dalam kata-kata yang secara kultural cocok, tetapi juga mengkritisi dan memperbaiki kultur itu sendiri bila dirasa penting dalam pembentukan “teologi in locu”.

2) Untuk menjadi interpersonal dan bukannya inter-doktrinal dalam proses dialog dan saling memperkaya.

3) Untuk mengejar teologi ekumenis yang dilakukan demi kesehatan ekologis dan keadilan.


III. Tinjauan Teologis dari Teologi Kerbau

Koyama (1974: hlm. 106-111) menulis: “Berteologi berarti berpikir. Berpikir tentang apa? Tentang sejarah dalam terang Firman Allah. Firman di sini harus dipahami sebagai berita teologis Yohanes 14:26 yang berkata: “tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” Ini berarti memahami pemahaman Allah tentang sejarah dan manusia dalam terang Yohanes 14:26. Dengan cara ini manusia diterangi secara rohani dan ia menemukan identitas spiritualnya. Jadi bergumul dengan konteks historis tidak berarti bahwa konteks apa pun juga tidak dapat berubah dan berada di luar kendali kita. Dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Filipi 2:10).[12]

Sebagai contoh Koyama adalah (hal 73-75) tentang asal mula iman. Alkitab bercerita tentang iman yang menakjubkan dari perumpamaan bukan Yahudi yang datang kepada Yesus karena keprihatinannya akan anak perempuannya yang dirasuk setan (Mat 15:21-28). Dalam diri perempuan bukan Yahudi ini Luther menemukan iman yang cukup kuat sehingga tidak mau mundur bahkan ketika Yesus tampak menolaknya. Koyama mengatakan bahwa ia begitu terkesan dengan penafsiran Luther sehingga ia menyampaikan kepada jemaat kecilnya di Muangthai ini. Dengan kekuatiran Koyama berpaling kepada Alkitab. Kali ini dia melihat dengan latar belakang sejarah, budaya dan keagamaan Muangthai. Ia memusatkan perhatian kepada iman perempuan yang menakjubkan itu dan menemukan dua uncur penting di dalamnnya: ia beriman kepada anak Daud dan ia menyingkapkan masalahnya. Hal yang terakhit itulah yang mendorngnya kepada iman terse but. Kasih manusia yang alamiah berjumpa dan menyatu dengan kasih yang ilahi yang mengorbankan diri dan yang menghasilkan iman yang kuat.

Koyama menyimpulkan (hlm. 75) bahwa: permulaan iman haruslah mengandung suatu faktor yang sah dan relevan secara universal yang dapat mengahapuskan batas agama-agama, budaya dan politik. Dan ia berterimakasih kepada orang Muangthai akan wawasan ini. Penafsiran Luther tentang serangan tentulah mempunyai makna yang mendalam dalam konteks kota Wittenberg dan masa Reformasi. Namun awal iman yang berkembang dari suatu pengalaman manusiawi, seperti kasih seorang ibu bagi anak perempuannya, itulah yang mempunyai makna di Bangkok yang beragam Budhis. Inilah titik temu dai kedua macam orang muangthai. Bagi Koyama, dalam contoh dan pengertian iini. Teologi kerbau lebih penting daripada teologi Reformasi. Koyama memperlihatkan cara pandang keagamaan yang mendalam tentang tradisi Timur dan Barat dalam kontekstualisasi mereka. Oleh Karena itu karyanya sangat bermanfaat bagi orang yang demi Injil Kristus ingin menyeberangi batas antara Timur dan Barat yang selalu bertemu namun tidak bertemu itu.[13]


Konteks terus-menerus ditantang dan dipaksa untuk berubah. Menurut Koyama, pemahaman teologis tidak hanya diperoleh melalui logika yang linear. ‘Kesimpulan akhir tentang Kristus’ tidak dapat dilihat hanya berdasarkan ayat-ayat dalam Alkitab (Scripture) atau berdasarkan bukti objektif yang rasional. Kita dapat melihat jika indera pendengaran dan penglihatan kita secara fisik, dapat berjalan seiring dengan pendengaran dan penglihatan spiritual / hati. Dengan mengacu pada konteks sosial politik, pergulatannya dengan isu ini tidak kalah besar. Koyama secara konstan berinteraksi dengan imperialism, penyembahan akan uang dan kekuasaan, isu ras, ekonomi, agama lingkungan dan lainnya dalam penerangan dengan salib Kristus. Pandanga Koyama lebih reflektif secara teologis, namun ia juga tidak memandang ideologi sebagai hal yang tidak penting. Keduanya tetap dibutuhkan untuk mengaplikasikannya di dalam pelayanan.

Seberapa kuat konsentrasi terhadap Penginjilan dan Pastoral mempengaruhi pikiran Koyama? Ia memiliki ketertarikan pada dua area tersebut. Dalam salah satu pernyataanya tentang penginjilan, Koyama menyatakan bahwa Kekristenan menghadapi situasi yang disebut dengan ‘teaching complex’, dimana umat telah menjadi objek dari penginjilan. ‘Teacher complex’, yang merupakan ‘pelaku’ dalam situasi ini, mengacu pada apa yang disebut dengan ‘crusade complex’, yaitu kondisi dimana pelayanan / penginjilan dilakukan dengan giat. Iman Kristen tidak dapat disebarkan dengan cara tersebut. Menurut Koyama, umat harus memiliki pikiran yang tersalib - ‘crucified mind’, bukan pikiran yang bergiat dalam melakukan pelayanan / penginjilan - ‘crusading mind’.[14]

Sikap berteologi Koyama adalah sebuah sikap partisipatoris yang kontekstual dalam proses berteologi. Oleh Koyama kerbau mengingatkannya untuk lebih dekat dengan kehidupan umat. Proses partisipatoris ini juga dilakukan oleh Yesus dimana Kehadiran-Nya di dunia penuh dengan penderitaan, hidup bersama umat dalam konteksnya dan proses kehadirannya di dunia sama dengan manusia namun lebih terhina seperti lahir di kandang yang hina, mati seperti penjahat yang digantung di atas tiang kayu salib. Dalam mengajar, memberitakan tentang Allah, Yesus langsung berhadapan dengan manusia dengan konteks gumulnya masing-masing. Bahkan para muridnya di ambil dari orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Pada akhir hidupnya, Yesus diperlakukan seperti manusia yang memberontak pada masa kerajaan romawi yakni di gantung di atas tiang salib. Salib pada konteks Romawi pada saat itu adalah alat untuk hukuman bagi para penjahat atau pemberontak terhadap raja. Dalam konteks saat ini, Peristiwa penyaliban Yesus haruslah terus dimaknai dalam kehidupan kita. Salib bukan saja symbol alat hukuman oleh para pembesar Romawi kepada para penjahat. Salib harus terus di maknai sebagai suatu kehidupan yang membawa makna. Memang tidak seorang pun yang lari dari penderitaan. Penderitaan adalah bagian dari hidup. Tanpa penderitaan maka hidup ini tidak bermakna. Salib adalah keberanian dirimu mempersembahkan hidupmu demi orang lain (solider) khususnya kepada mereka yang lemah, miskin, tertindas, marginal. Peristiwa penyaliban Yesus harus terus menginspirasikan dan menyemangati umat untuk terus berkaya menghadirkan kehidupan yang bermakna. Kerelaan disalibkan sampai mati demi orang lain, sangat berharga. Itulah Yesus Kristus Tuhan Kita. Seperti kutipan Injil Yohanes: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13). Pemberian nyawa merupakan pengorbanan dan tindakan kasih yang nyata. Dan hal ini sudah di lakukan oleh Yesus. Semoga teologi kerbau dapat mengingatkan kita untuk lebih mendekatkan diri dengan umat yang penuh penderitaan untuk menemukan makna hidup yang baik sesuai dengan yang Yesus lakukan bagi dunia ini.


IV. Tanggapan Penulis

Teologi Kubangan Kerbau lahir dari sebuah teologi lokal yang berusaha untuk berteologi dari bawah dengan bertajuk teologi ekologi dan teologi pembebasan serta berkontribusi terhadap dialog antara orang Kristen dan Budha di Muangthai Thailand. Teologi Kubangan Kerbau bertolak dari realitas konkrit menuju Firman Allah, sehingga mendorong kita untuk lebih menghayati panggilan sebagai orang Kristen (murid Yesus) akan kasih Allah dalam konteks Asia. Ia menuntut suatu cara berteologi yang sungguh-sungguh mengenal situasi riil umat agar bisa menghasilkan iman dan pertobatan dalam diri umat itu sendiri. Selain itu Teologi Kubangan Kerbau ini juga menampilkan refleksi atas situasi yang terjadi di Jepang, dimana Koyama menggambarkan Tuhan Allah dengan kecepatan tiga mil per jam dalam membimbing refleksi yang mendalam untuk mengatasi jarak dan waktu. Artinya dalam membangun usaha berteologi Koyama menampilkan sebuah harapan dari refleksi dengan menganalogikan tanah perjanjian sebagai sesuatu yang terus kita harapkan nyata dalam pengharapan. Oleh karena itulah hubungan antara sejarah dan teologi tidak dapat terpisahkan. Dengan demikian setiap orang tidak hanya hidup di dalam sejarah yang universal, tetapi juga di dalam suatu kedudukan khusus di dalam sejarah universal. Setiap sejarah khusus mempunyai unsur-unsur yang benar, berharga dan adil. Unsur-unsur itu harus dipadukan kepada apa yang disebut oleh Koyama yaitu teologi “Orbit Khusus” dengan mengakarkan teologi dalam budaya dan gaya hidup sebagai orang Kristen.



Daftar Pustaka

[1] Daniel J Adams, Teologi Lintas Budaya – Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 61. [2] Kosuke Koyama, Injil Dalam Pandangan Asia, Berteologi Dalam Konteks Sejarah dan Kebudayaan Asia, terjemahan dari edisi Bahasa Belanda, “Creatieve Theology” (Jakarta: Yayasan Satya Karya, 2002), hlm. 14. [3] Stephen Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Penerbit Ledalenro, 2002), hlm. 26. [4] http://justinpeter.wordpress.com/2010/11/21/book-review-water-buffalo-theology, diakses pada Senin, 1 Mei 2017. [5] Kosuke Koyama, Waterbuffaloes Theology (New York: Orbis Books, 1981), hlm. 48. [6] Hwa Yung, mangoes or Bananas? – The Quest for an Authentic Asian Christian Theology, Biblical Theology in an Asian Context, (New Delhi: Regnum Offord, Akropong, Buenos Aires, 1997), hlm. 162. [7] David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi – Makna, Metode dan Model Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 104. [8] David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi – Makna, Metode dan Model Teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 107. [9]Ibid., hlm. 107-108. [10] Ibid., hlm. 108. [11] Jhon C. England, Jhon Mansford Prior, dkk (editor), Asian Christian Theologies. Vol. 3 (Delhi: ISPCK/Claretion Plubishers/Orbis Books, 2004), hlm. 411. [12] Kosuke Koyawa, Waterbuffalo Theology, (London: SCM Press Ltd, 1974), hlm. 106. [13][13] Kosuke Koyawa, Waterbuffalo Theology, (London: SCM Press Ltd, 1974), hlm. 75. [14] Hwa Yung, mangoes or Bananas? – The Quest for an Authentic Asian Christian Theology, Biblical Theology in an Asian Context, (New Delhi: Regnum Offord, Akropong, Buenos Aires, 1997), hlm. 168.


Oleh :

Pdt. Mangara Pakpahan, S.Th, M.Th.

Comments


bottom of page