“Tetapi tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain.” (Yesaya 8:23)
“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yesaya 9:1)
“Dalam bulan yang keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria.” (Lukas 1:26-27)
Pengantar
Seringkali kita memikirkan peristiwa Natal hanya sebagai peristiwa suka cita yang sepenuhnya menyenangkan. Padahal apabila kita teliti sesungguhnya Alkitab menyatakan kepada kita betapa penantian panjang Israel akan datangnya Mesias ke dalam dunia ini dipenuhi dengan berbagai peristiwa tragis yang harus mereka alami sebagai umat Allah. Melalui tulisan ini penulis bermaksud untuk membukakan kepada kita betapa peristiwa kelahiran Kristus, sebagai penggenapan progresif atas janji Tuhan, merupakan penghiburan besar bagi Israel di dalam kesuraman dan kegelapan yang kelak akan mereka alami sebagai akibat dari penghakiman Tuhan atas dosa-dosa mereka yang berkepanjangan itu. Untuk itu penulis mengajak kita mengeksposisi Yesaya 8:23, suatu ayat yang sering kita lupakan ketika kita merenungkan Yesaya 9:1-6 di dalam kebaktian-kebaktian Natal kita, serta kaitannya dengan Lukas 1:26-27.
Analisis atas Yesaya 8:23
Setiap kita tentu mengetahui bahwa setelah meninggalnya Salomo pada tahun 930 SM (I Raja-Raja pasal 12), kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan utara (northern kingdom) yang disebut Israel, beribukota di Samaria, dan kerajaan selatan (southern kingdom) yang disebut Yehuda, beribukota di Yerusalem. Yesaya 8:23 sesungguhnya merupakan berita penghiburan Tuhan khususnya kepada mereka yang tersisa di kerajaan utara (Israel), setelah Zebulon dan Naftali sebagai suku-suku di kerajaan utara yang mengalami pukulan paling keras saat raja Asyur, Tiglat-Pileser III, menaklukkan mereka pada tahun 732 SM (2 Raja-Raja 15:29) sebelum kemudian Samaria juga akhirnya jatuh pada tahun 722 SM (2 Raja-Raja 17:24). Pukulan dahsyat Asyur tersebut membawa mereka yang tersisa di kerajaan utara (Israel) itu ke suatu masa suram yang sangat panjang, keadaan mana digambarkan oleh nabi Yesaya yang melayani di kerajaan selatan (Yehuda) sebagai “negeri yang terimpit” dan “tanah yang direndahkan Tuhan”. Penghakiman Tuhan atas Israel itu menempatkan mereka, yaitu Zebulon dan Naftali, pada keadaan yang sedemikian rendahnya saat mereka dibuang dan diangkut sebagai tawanan ke Asyur dan tanah dari dua suku yang letaknya paling utara di Israel itu kemudian diduduki dan didiami oleh orang-orang dari berbagai bangsa.
Namun demikian hal itu tidak akan berlangsung selamanya. Mereka yang tersisa dari Israel itu mempunyai suatu pengharapan yang besar. Yesaya menggambarkan pengharapan besar bagi mereka itu dengan mengkontraskan keadaan mereka “dahulu”, yaitu berada di bawah penghakiman Tuhan, dan “di kemudian hari”, yaitu ditebus dan dipulihkan kembali oleh Tuhan. Untuk sementara waktu mereka akan dibuang ke Asyur, tetapi setelah itu mereka akan ditebus kembali dan di dalam penebusan itu Tuhan akan menyaring umat-Nya.
Dengan menyebut Zebulon dan Naftali, tanah dari dua suku yang letaknya paling utara dari kerajaan utara yang telah sedemikian lamanya jauh dari tahta Daud itu, pertama-tama harus dipahami bahwa nabi Yesaya bermaksud untuk menempatkan kedua tanah itu mewakili seluruh Israel dan Yehuda dalam melihat pengharapan besar akan pemulihan mereka pada masa yang akan datang. Yesaya mendeskripsikan pemuliaan atas dua tanah di dalam pasal 8 ayat 23 itu dengan menyoroti wilayah-wilayah yang luasnya melampaui teritori kerajaan utara berdasarkan tiga nama berikut ini, yang dikenal luas dalam dunia internasional era Perjanjian Lama:
Jalan ke laut (yang disebut juga dengan via maris), yaitu daerah di sepanjang pantai sebelah barat danau Kineret (yang di kemudian hari disebut danau Galilea) yang berada di dalam wilayah suku Naftali, hingga daerah-daerah menuju laut Tengah di sebelah utara lembah Yizreel;
Daerah seberang sungai Yordan, yaitu daerah-daerah di sebelah barat sungai Yordan menuju laut Tengah;
Wilayah bangsa-bangsa lain, yaitu daerah-daerah di perbatasan paling utara dari tanah perjanjian, yang di kemudian hari kelak merupakan bagian dari Galilea, sebagai tempat yang telah lama didiami berbagai bangsa selain Israel seperti Kanaan, Aram, Het, Mesopotamia, yang tidak mengenal Tuhan. Daerah ini telah ribuan tahun lamanya menjadi persimpangan lalu lintas pejalan dari tiga benua besar, yaitu Afrika, Eropa dan Asia.
Yesaya menggambarkan besarnya pengharapan atas mereka yang tersaring dari Israel dan Yehuda itu di dalam pasal 9 ayat 1 sampai 6.
Yesaya 9:1
Penghakiman dan penebusan atas mereka yang tersaring dari Israel itu, pada saat yang sama juga menjadi tanda penghakiman dan penyertaan Tuhan atas Yehuda yang sedang menanti kehancurannya oleh karena dosa-dosa mereka. John N. Oswalt menegaskan hal itu di dalam bukunya The Book of Isaiah dengan mengatakan,
Isaiah’s concern over the fate of Northern Israel’s most northern provinces and his prophecy concerning their future destiny are more indications that his outlook was not narrowly Judean or Jerusalemite in scope. All Israel was involved in rebellion against God (8:14) and all Israel would participate in the redemption and restoration, if only in remnant form. / Kepedulian Yesaya akan apa yang segera dialami oleh wilayah paling utara dari kerajaan utara itu (maksudnya: Israel) dan nubuatnya mengenai masa depan mereka bermaksud menyatakan bahwa ruang lingkup yang ia maksudkan itu tidak sebatas mereka yang berdiam di Yudea atau Yerusalem. Seluruh Israel terlibat di dalam pemberontakan melawan Tuhan (8:14) dan seluruh Israel kelak akan berbagian di dalam penebusan dan pemulihan, sekalipun itu hanya bagi mereka yang tersisa. (John N. Oswalt, NICOT, “The Book of Isaiah”, Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1986).
Dalam hubungannya dengan penyebutan Zebulon dan Naftali di dalam pasal 8 ayat 23 di atas, maka pasal 9 ayat 1 hendaknya dipahami sebagai demikian:
1. Bagi kerajaan utara (Israel)
Kejatuhan Zebulon dan Naftali mewakili kejatuhan seluruh suku di kerajaan utara, hal mana dimaksud Yesaya dengan ”negeri yang terimpit” dan ”tanah yang direndahkan Tuhan”. Akan tetapi ”di kemudian hari” kelak Tuhan akan memulihkannya.
2. Bagi kerajaan selatan (Yehuda)
Kejatuhan seluruh suku di kerajaan utara itu merupakan tanda keselamatan bagi Yehuda dari ancaman koalisi Israel dengan Aram. Akan tetapi oleh pelanggaran Yehuda yang terus bertambah-tambah, seperti pelanggaran atas perjanjian yang pernah dilakukan Ahas misalnya, kelak Tuhan juga akan menghukum Yehuda melalui Babel pada tahun 587 SM.
Dengan demikian Zebulon dan Naftali sesungguhnya akan mewakili seluruh Israel dan Yehuda yang berdiam di atas tanah itu yang kelak “akan melihat terang yang besar” dan “atasnya terang akan bersinar”. Terang besar yang akan bersinar atas dua tanah itu mau menyatakan satu hal penting, yaitu Tuhan akan membangkitkan umat-Nya, yaitu Israel dan Yehuda, dari kematian. Dengan dikatakan “telah melihat terang yang besar” dan “atasnya terang telah bersinar”, kepulangan mereka kembali ke tanah perjanjian menjadi gambaran dari suatu kebangkitan dari kematian, suatu bayang-bayang progresif dari kebangkitan umat Tuhan. “… Sungguh, Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku, dari dalamnya, dan Aku akan membawa kamu ke tanah Israel” (Yehezkiel 37:12).
Jadi pada titik ini kita melihat dua hal penting:
1. Penebusan itu secara progresif “sudah” (already) tergenapi saat mereka yang tersisa dari Israel, yaitu suku Efraim dan suku Manasye, bersama-sama dengan mereka yang tersisa dari Yehuda, yaitu suku Yehuda dan suku Benyamin, kembali ke tanah Yehuda (1 Tawarikh 9:3) setelah selesainya masa pembuangan. Dalam perspektif biblical theology keberadaan suku Yehuda sepulang dari pembuangan merupakan bentuk progresif pemulihan kerajaan Daud yang telah berlalu itu dengan kembali kepada suatu tunas yang akan keluar dari tunggul Isai kelak (Yesaya 11:1), yaitu Kristus.
2. Pada saat yang sama, penebusan itu secara progresif “belum” (not yet) tergenapi sepenuhnya. Di dalam bukunya Commentary on the Prophet Isaiah, tokoh reformator Kristen bernama John Calvin mengatakan,
…, that the Prophet, when he speaks of bringing back the people from Babylon, does not look to a single age, but includes all the rest, till Christ came and brought the most complete deliverance of his people. The deliverance from Babylon was but a prelude to the restoration of the Church, and was intended to last, not for a few years only, but till Christ should come and bring true salvation, not only to their bodies, but likewise to their souls. / … bahwa Nabi Yesaya, ketika dia berbicara tentang kembalinya orang-orang buangan itu dari Babel, tidak melihat hanya pada satu jaman saja, melainkan juga pada suatu jaman yang akan datang, hingga Kristus datang dan memberikan kelepasan penuh atas umat-Nya. Kepulangan dari Babel tersebut tidak lain merupakan suatu bayang-bayang atas pemulihan gereja, dan dimaksudkan agar terus berlangsung, bukan hanya untuk beberapa tahun saja, melainkan hingga Kristus datang dan memberikan keselamatan yang sejati, bukan hanya atas tubuh mereka, tetapi juga atas jiwa mereka. (John Calvin, “Commentary on the Book of the Prophet Isaiah,“ Volume 1, Grand Rapids: Bakers Books, 1999).
Persoalan kita sekarang, bagaimana pemuliaan atas “jalan ke laut”, “daerah seberang sungai Yordan” dan “wilayah bangsa-bangsa lain” itu tergenapi secara progresif di dalam peristiwa kelahiran Kristus?
Lukas 1:26-27
Lukas mencatat bahwa berita kelahiran Kristus pertama-tama sekali turun kepada Maria, tunangan Yusuf yang berasal dari garis keturunan Daud, yang tinggal di kota Nazaret, sebuah kota di wilayah Galilea.
Kota Nazaret, yang berada di wilayah Galilea, terletak di daerah yang dulunya merupakan wilayah suku Zebulon. Terpisah dari setiap jalan yang terhubung dengan rute utama perdagangan via maris serta tinggi dan curam baik dari sisi utara dan selatannya, Nazaret merupakan tempat yang tidak dikenal pada masa perjanjian lama. Itu sebab tidak heran Natanael berkata, “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yohanes 1:46). Akan tetapi justru di Nazaret, tempat yang tidak dikenal pada masa perjanjian lama itu di mana Maria dan Yusuf tinggal, berita mulia tentang akan lahirnya Kristus turun.
Yusuf merupakan keturunan raja Daud. Alkitab tidak menjelaskan apa latar belakang Yusuf, yang berasal dari suku Yehuda itu, tinggal di sebuah desa-kota Nazaret yang berada di dalam wilayah yang tujuh abad sebelumnya dinyatakan sebagai ”negeri yang terimpit” dan ”tanah yang direndahkan Tuhan”. Akan tetapi Tuhan setia kepada janji-Nya. Kesuraman atas ”negeri yang terimpit” itu tidak akan berlangsung selamanya. “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yesaya 9:1). ”Tanah yang dahulu direndahkan Tuhan” itu ternyata tetap memiliki pengharapan. Pemuliaan atas ”jalan ke laut”, ”daerah seberang sungai Yordan” dan ”wilayah bangsa-bangsa lain” itu akan segera dimulai. Dengan kedatangan Kristus maka Tuhan akan segera menebus umat-Nya.
Kesimpulan
Keterpurukan Zebulon dan Naftali bukan akhir dari pekerjaan Tuhan. Kebobrokan seluruh Israel perjanjian lama tidak menghalangi pekerjaan Tuhan sepanjang sejarah. Penghakiman Tuhan telah membawa mereka, baik yang di utara dan di selatan, ke suatu penyaringan dan pemurnian. Mereka yang menyandarkan diri mereka kepada apa yang tampak secara fisik tidak akan berbagian di dalam apa yang Tuhan sedang kerjakan. Tetapi mereka yang menyandarkan diri mereka kepada janji Tuhan mempunyai satu pengharapan yang sama, yaitu berbagian di dalam apa yang Tuhan kerjakan di dalam setiap jaman. Kesetiaan Tuhan memelihara janji-Nya merupakan jaminan bagi kita, umat Tuhan, dalam menatap masa yang akan datang.
Demikian pula hidup kita sebagai jemaat gereja HKBP Duren Sawit. Penderitaan yang kita alami dan jalani tidak boleh membuat kita kehilangan pengharapan dalam menatap masa yang akan datang. Kita memang tidak boleh menatap masa depan berdasarkan optimisme moderen yang evolusionistik dimana ”kemajuan” (progress) dipandang sebagai ilah. Tetapi kita juga tidak boleh menatap masa depan berdasarkan pesimisme post-modern dimana ketiadaan-pengharapan dipandang sebagai kondisi tragis akhir hidup manusia. Tuhan yang kita percayai adalah Tuhan Penebus (God the Redeemer) yang memimpin masa depan. Oleh karena itu baiklah kita sebagai jemaat gereja HKBP Duren Sawit bertumbuh di dalam pengenalan yang benar akan Dia.
Penutup
Kesulitan dan pergumulan hidup yang kita alami, sebagai jemaat yang rohaninya bertumbuh di dalam lingkungan gereja HKBP Duren Sawit ini, tidak boleh membuat kita undur dari pekerjaan-pekerjaan Tuhan. Dalam keadaannya yang kecil sekali pun pekerjaan Tuhan tetap tidak boleh dinilai berdasar apa yang terlihat oleh mata saja. Seperti dikatakan oleh John Calvin, salah seorang reformator penting gereja, ”We must not judge of its stability from the present appearances of things, but from the promise, which assures us of its continuance and of its constant increase.” Artinya: Kita tidak boleh menilainya hanya berdasarkan apa yang terlihat, melainkan berdasarkan janji, yang meneguhkan kita akan keberlanjutan dan perluasannya yang terus menerus. (John Calvin, “Commentary on the Book of the Prophet Isaiah,“ Volume 1, Grand Rapids: Bakers Books, 1999).
Selamat Natal dan Tahun Baru 2021.
St. Jessy Victor Hutagalung, SE
HKBP Duren Sawit, Lingkungan Kav.AL
Anggota Sie IT & Multimedia
Comments